Pembangunan InaTEWS (Indonesia-Tsunami Early Warning System) meliputi dua komponen utama, yakni Struktur terkait dengan pemanfaatan teknologi yang menghasilkan Peringatan Dini Tsunami; dan Kultur yang melibatkan masyarakat pada peningkatan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya tsunami. Komponen struktur berkaitan dengan pemasangan peralatan-peralatan deteksi tsunami sehingga dapat menghasilkan data yang menjadi dasar untuk penyusunan peringatan dini. Selanjutnya, peringatan dini itu disampaikan kepada media dan lembaga-lembaga lain yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Meskipun bunyinya mirip, struktur dan kultur memiliki banyak perbedaan. Yang pertama, pekerjaan struktur terlihat rumit. Memastikan ada sinyal dari bawah laut bahwa telah terjadi tsunami, kemudian membawa sinyal itu ke permukaan laut untuk selanjutnya dipancarkan ke satelit dan dipantulkan ke Pusat Peringatan Dini Tsunami, jelas bukan perkara yang sederhana. Apalagi, bencana tidak kenal waktu sehingga transfer data itu harus selalu siap 24 jam. Tetapi, ternyata pekerjaan kultur jauh lebih rumit karena menyangkut manusia yang terkenal kompleks perilakunya.
Perbedaan selanjutnya, kegiatan struktur berbeda-beda untuk tiap bencana. Peralatan untuk memberikan peringatan dini tsunami tentu saja berbeda dengan peralatan untuk peringatan dini longsor. Sebaliknya, meskipun kegiatan kultur itu lebih rumit, jika dapat didorong dan dikedepankan, kesiapsiagaan masyarakat itu akan berlaku untuk segala macam bencana.
Perbedaan ketiga, pekerjaan struktur berupa pemasangan peralatan boleh dikatakan cukup dilakukan sekali dan selesai. Namun, untuk pekerjaan kultur, tidak pernah dikenal kata selesai. Misalnya, peragaan cara penyelamatan diri pada saat pendaratan darurat yang dilakukan pramugari pesawat terbang yang harus dilakukan pada setiap kali penerbangan tanpa boleh ada kata jenuh. Jadi, apa boleh buat, meskipun Anda sudah naik pesawat untuk yang kesejuta kali, misalnya, Anda tetap harus disuguhi peragaan tersebut oleh awak kabin pesawat. Dalam kaitan dengan itu, cara paling tepat untuk melaksanakan pekerjaan kultur ini adalah dengan latihan, simulasi, dan drill.
mungkin dari kutipan tentang perbedaan antara kultur dan struktur diatas cukup bisa dipahami. Oke sekarang kita masuk ke pembahasan utamanya, yaitu mana yang harus di utamakan antara Kultur atau Struktur dalam pembangunan Ina-TEWS di daerah Utara Papua dan Papua Barat???. Sebelum dijawab, mari kita lihat sejenak potensi kecepatan waktu tiba gelombang tsunami apabila terjadi di daerah utara Papua. Dibawah ini saya coba memetakan daerah mana saja yang berpotensi bila terjadi tsunami dengan waktu tiba gelombang tsunami ke pantai ≤ 5 menit. Saya menghitung waktu tiba gelombang tsunami tersebut dengan mengambil jarak terdekat antara garis pantai dengan garis patahan terdekat yang bisa berpotensi menimbulkan gempabumi dan tsunami. Didapatkan wilayah utara Kepulauan Yapen, selatan Biak Numfor dan Supriori, utara dan timur kepala burung memiliki waktu tiba gelombang tsunami ≤ 5 menit apabila terjadi gempabumi dan tsunami di jarak paling terdekat. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini, garis merah menandakan daerah pantai yang mempunyai potensi waktu tiba gelombang tsunami ≤ 5 menit.
dengan waktu tiba gelombang tsunami yang hanya ≤ 5 menit, menurut anda sekalian, apakah wilayah ini lebih tepat memaksimalkan pengembangan di bidang struktur atau kultur???. Sebelum di jawab, mari kita lihat kembali parameter-parameter apa saja yang sedang dikembangkan sekarang ini di bidang struktur dan kultur dalam Ina-TEWS.
Struktur
Pemasangan alat yang mutakhir dan canggih untuk mendeteksi potensi Tsunami, diantaranya :
- Seismic Network; terdiri dari Seismometer dan Accelerometer
- Tsunameter Network; terdiri dari Buoy
- Tide Gauge Network; alat pasang surut
- GPS Network; alat pendeteksi deformasi
Instansi yang berperan dalam pengembangan Struktur Ina-TEWS : BMKG, Bakosurtanal, BPPT dll
Kultur
kegiatan-kegiatan kultur untuk meningkatkan kesiap-siagaan masyarakat, anatara lain :
1. Pengamanan peralatan deteksi bencana
2. Penyiapan peta risiko (peta genangan) beserta skenario penyelamatan
3. Penyiapan tempat evakuasi beserta peta pencapaiannya
4. Pemasangan rambu-rambu petunjuk/arah evakuasi
5. Pembangunan pusat krisis/pusat komando
6. Pelaksanaan latihan-latihan evakuasi tsunami (tsunami drill) secara berkala
7. Pembangunan sirene
8. Pembangunan/penentuan gedung penyelamat (escape building/ tsunami shelter)
9. Penyusunan tata ruang berbasis kebencanaan
10. Penyusunan kurikulum muatan lokal sekolah tentang kebencanaan
Instansi yang berperan dalam pengembangan Kultur Ina-TEWS : Pemerintah Daerah, LIPI, Lembaga Pendidikan, LSM dll
oke sekarang kita saya akan mencoba bercerita tentang kondisi Struktur yang ada di wilayah Papua dan Papua Barat. BMKG selaku pengendali peringatan potensi tsunami di seluruh Indonesia, sampai saat ini baru bisa memberikan warning potensi tsunami paling lama adalah 5 menit. Dan ini pun hanya peringatan yang berupa "peringatan tsunami" yang di dapatkan dari hasil analisa gempabumi. Jadi kalau secara bahasa, "peringatan potensi" ini hanya berupa peringatan yang bersifat kemungkinan. Jadi warning tsunami ini bisa saja betul terjadi tsunami, mungkin juga tidak. Dan untuk pembuktian terjadi benar atau tidaknya tsunami, memerlukan data dari instansi lain berupa data BOUY(tsunameter) dan juga Tide Gauge. Dan untuk pembuktian benar atau tidaknya terjadi tsunami, berarti membutuhkan kembali waktu untuk menganalisanya. Jadi diperlukan waktu yang lebih dari 5 menit untuk analisa pembuktiannya. Belum lagi dengan proses penyebaran peringatan potensi tsunami yang membutuhkan waktu dari BMKG ke institusi Interface dan juga ke masyarakat. Saya rasa untuk bisa peringatan potensi tsunami sampai langsung ke tangan masyarakat membutuhkan waktu yang lebih dari 5-8 menit (ini analisa saya saja).
Dengan waktu Peringatan Potensi Tsunami yang dikeluarkan 5 menit setelah gempabumi, apakah mungkin daerah yang mempunyai waktu tiba gelombang tsunami ≤ 5 menit (yang di peta bergaris merah) bisa melakukan penyelamatan diri??? Saya rasa akan sangat sulit untuk dilakukan. Maka dari itu, Jawaban saya tentang "mana yang utama antara struktur dan kultur untuk daerah Utara Papua dan Barat" adalah KULTUR. Dengan meningkatkan kesiap-siagaan masyarakat atau kultur, maka jumlah korban bisa saja di minimalisir.
Yang menjadi pertanyaan, apakah instansi yang berperan dalam pengembangan kultur dalam konsep Ina-TEWS sudah berjalan???. Jawaban sepengetahuan saya yaitu sudah berjalan, tapi sangat perlu untuk terus dikembangkan dan di maksimalkan. Contoh hal-hal yang sudah dilakukan oleh para pengembang kultur di Papua dan Papua Barat yaitu pelaksanaan latihan-latihan evakuasi tsunami (tsunami drill) yang pernah di lakukan di Biak oleh LIPI, Pembangunan Sirine di Jayapura dan Manokwari, Pembuatan Rambu Bahaya Tsunami di Biak, Kep.Yapen dan Nabire dll, Sosialisasi kebencanaan di berbagai Daerah, Pembentukan BPBD di setiap kabupaten.
Tetapi dari semua hal yang paling penting untuk di lakukan dalam hal kultur yaitu tentang Pelaksanaan latihan-latihan evakuasi tsunami (tsunami drill) secara berkala dan Penyusunan kurikulum muatan lokal sekolah tentang kebencanaan. Masyarakat harus di berikan pengertian-pengertian tentang gempabumi dan tsunami, syarat-syarat terjadinya dan tanda-tanda awal apabila terjadi tsunami. Dengan di berikan pengetahuan tersebut, maka masyarakat akan tahu apa yang harus dilakukan apabila terjadi tsunami tanpa harus menunggu peringatan potensi tsunami datang. Latihan evakuasi yang berkala juga mempengaruhi tingkat respon masyarakat apabila terjadi tsunami.
Harapan saya, cukup tragedi tsunami di Pagai, Sumatera Barat yang terjadi akibat lemahnya kultur di sana. Kekurang siap-siagaan, kurangnya wawasan gempabumi dan tsunami, dan kurang terlatihnya masyarakat disana untuk evakuasi apabila terjadi tsunami, menjadi cambukan yang sakit untuk kita semua dengan begitu banyaknya korban meninggal akibat tragedi tsunami disana. Saatnya memperbaiki sistem kultur kita, khususnya di daerah Utara Papua dan Papua Barat yang memiliki waktu yang sangat sempit untuk menyelamatkan diri dari ancaman tsunami.
Lalu bagaimana dengan pengembangan struktur di utara Papua dan Papua Barat??...harus di lanjutkan atau di hentikan saja??? Jawabnya yaitu tetap harus di lanjutkan, karena tidak semua wilayah utara Papua dan Papua Barat memiliki waktu tiba gelombang tsunami ≤ 5 menit, ancaman tsunami dari jarak yang jauh (tsunami tele) dari wilayah lain sewaktu-waktu juga bisa terjadi. Bahkan kalau pemikiran saya, jaringan seismik di Papua dan Papua Barat harus di tambah. Karena dengan semakin rapatnya jaringan seismik ini maka waktu yang di butuhkan untuk analisa gempabumi bisa makin cepat. Yang kalau sekarang peringatan potensi tsunami baru bisa paling lama 5 menit, dengan makin bertambah dan rapatnya jaringan seismik di Papua dan Papua Barat, mungkin saja bisa menjadi 2 atau 3 menit. Dengan makin cepatnya peringatan potensi tsunami menjadi 2-3 menit, maka bisa ada selisih waktu 2 menit untuk bisa sampai ke masyarakat. Bukan jaringan seismiknya yang di tambah, tetapi jaringan diseminasinya juga perlu di tingkatkan sehingga informasi bisa menyentuh masyarakat secara keseluruhan.
kalau ingin lihat jaringan seismik yang ada sekarang di Papua dan Papua Barat, dapat dilihat disini
salam waspada....
reference :
- Membangun Siaga Bencana oleh Pariatmono Sukamdo(Asisten Deputi Iptek Pemerintah/ Kepala Pusat Informasi Riset Bencana Alam Kementerian Riset dan Teknologi)
- http://www.bmg.go.id/data.bmg?Jenis=Teks&IDS=5408481373414691018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar